Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan Pemilu nasional dan Pemilu lokal pada 3 Juli 2025, telah memicu kontroversi dan kritikan dari berbagai pihak, termasuk kalangan politikus. Salah satu kritik datang dari anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, Muhammad Khozin, yang menilai putusan tersebut telah melampaui batas kewenangan MK.
Khozin menyoroti transformasi peran MK yang dinilai telah bergeser dari sekadar penjaga konstitusi menjadi lembaga pembentuk undang-undang, sejajar dengan Pemerintah dan DPR. Ia mempertanyakan kewenangan MK dalam hal ini.
MK: Dari Penjaga Konstitusi Menjadi Pembentuk UU?
Menurut Khozin, MK seharusnya berperan sebagai “negative legislator,” bukan “positive legislator.” Artinya, MK bertugas untuk membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, bukan untuk membuat undang-undang baru.
Ia mempertanyakan apakah dengan dalih menjaga konstitusi agar tetap adaptif (living constitution), MK berwenang untuk menjadi lembaga ketiga pembentuk undang-undang setelah Presiden dan DPR. Hal ini perlu ditegaskan kembali.
Kontradiksi Putusan MK Nomor 135/2025 dan 55/2019
Khozin mengungkapkan adanya paradoks dalam putusan MK Nomor 135/2025 tentang keserentakan Pemilu. Putusan ini, jika dibandingkan dengan putusan sebelumnya Nomor 55/2019, menunjukkan beberapa kontradiksi.
Salah satu kontradiksi terletak pada pemilihan satu opsi model keserentakan Pemilu dari enam opsi yang diusulkan sebelumnya. Putusan 55/2019 menolak untuk menentukan model keserentakan, mengatakan itu adalah tugas pembuat UU. Namun, putusan 135/2025 justru memerintahkan pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal.
Implementasi Putusan MK dan Ancaman Inkonstitusionalitas
Khozin menekankan bahwa pemerintah tidak dapat langsung melaksanakan putusan MK tentang pemisahan Pemilu. Hal ini dikarenakan putusan tersebut berimplikasi pada beberapa norma konstitusional.
Implementasi langsung putusan MK berpotensi menimbulkan inkonstitusionalitas. Pasal 22E ayat 1 dan 2 serta Pasal 18 ayat 3 UUD 1945 secara jelas mengatur pelaksanaan pemilu lima tahun sekali.
Khozin memperingatkan perlunya kejelasan hukum. Jika MK terus bertransformasi menjadi lembaga perumus UU, maka perlu dilakukan revisi konstitusi terkait tugas dan wewenang MK. Ketidakpastian hukum ini harus dihindari.
Putusan MK ini menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya proses legislasi yang sudah rumit dan memakan biaya, tenaga, serta waktu yang besar. Proses pembuatan undang-undang yang telah dilakukan dengan saksama dapat dengan mudah dibatalkan atau diubah oleh MK. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat pembangunan negara.
Oleh karena itu, perlu adanya diskusi dan penegasan bersama terkait fungsi dan peran MK agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan tercipta kepastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu di masa mendatang. Upaya ini penting untuk menjaga stabilitas politik dan demokrasi di Indonesia.