Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan daerah mulai 2029 menimbulkan kekhawatiran akan munculnya masalah baru. Salah satu yang disoroti adalah potensi kekosongan jabatan di DPRD.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Dede Yusuf Macan Effendi, mengungkapkan keprihatinannya terkait hal ini. Ia menjelaskan bahwa berbeda dengan kepala daerah, tidak ada mekanisme penunjukan penjabat sementara (Pj) untuk anggota DPRD.
Potensi Kekosongan Jabatan DPRD dan Revisi Undang-Undang
Dede Yusuf menjelaskan, tidak adanya mekanisme Pj untuk DPRD berpotensi menimbulkan kekosongan jabatan yang cukup lama. Hal ini dikarenakan dalam undang-undang yang berlaku saat ini, tidak diatur mengenai DPRD sementara.
Ia menambahkan, perubahan ini berdampak luas dan memerlukan revisi terhadap beberapa undang-undang. UU Pemilu, UU Pemerintahan Daerah, UU Pilkada, bahkan UU Otsus Papua perlu disesuaikan.
MK Diduga Melewati Batas Kewenangan
Dede Yusuf menilai, MK telah melewati batas kewenangannya dengan menetapkan norma baru, bukan hanya menguji atau mencabut ketentuan undang-undang yang ada.
Menurutnya, tugas MK seharusnya mengevaluasi, mencabut, atau mengoreksi, bukan membuat norma baru. Polemik ini, menurutnya, harus segera disikapi.
Solusi yang Diusulkan
Salah satu solusi yang diusulkan adalah membuat UU baru mengenai penjabatan sementara DPRD. Ini akan menjadi solusi yang lebih efektif daripada melakukan revisi terhadap UU yang sudah ada.
Dede Yusuf juga memperingatkan potensi kekosongan jabatan DPRD hingga 3,5 tahun jika putusan MK diterapkan tanpa revisi aturan yang komprehensif.
Peran Presiden dan Perhitungan Biaya Pemilu
Dede Yusuf menyatakan bahwa belum ada rapat resmi antar sekjen partai terkait hal ini. Mereka masih menunggu kepulangan Presiden Prabowo dari kunjungan luar negeri.
Presiden dianggap perlu turun tangan karena keputusan MK ini berdampak signifikan pada biaya Pemilu. Biaya Pemilu akan membengkak karena adanya dua tahapan Pemilu.
Meskipun Dede Yusuf menyambut baik ide pemisahan Pemilu nasional dan daerah, ia menekankan perlunya kajian mendalam dan perencanaan matang. Jarak waktu dua tahun antara Pemilu nasional dan daerah dinilai terlalu lama.
Ia menilai, jarak waktu ideal antara 8 bulan hingga 1 tahun masih dapat diterima, namun 2 tahun akan menimbulkan masalah kompleks yang membutuhkan revisi berbagai peraturan perundang-undangan.
Kesimpulannya, putusan MK ini menimbulkan tantangan besar yang membutuhkan solusi komprehensif dan kolaborasi antar lembaga negara, termasuk revisi Undang-Undang dan perencanaan anggaran yang cermat.