Berita  

Paus Baru Bukan Eropa? Indonesia Siap Hadapi Konklaf?

Paus Baru Bukan Eropa? Indonesia Siap Hadapi Konklaf?
Sumber: Kompas.com

Dunia tengah menantikan Konklaf, pertemuan rahasia para Kardinal untuk memilih Paus baru pengganti Paus Fransiskus yang meninggal dunia pada 21 April lalu. Konklaf akan dimulai pada 7 Mei mendatang di Kapel Sistina, Vatikan. Pertemuan ini selalu dipenuhi misteri dan spekulasi, terlebih mengingat komposisi para Kardinal yang semakin beragam.

Salah satu pertanyaan menarik yang muncul adalah kemungkinan terpilihnya Paus dari negara dengan mayoritas non-Katolik. Film fiksi Hollywood “Conclave” yang memenangkan Oscar tahun lalu menggambarkan skenario ini, di mana Paus baru berasal dari negara mayoritas Muslim. Lalu, seberapa mungkin skenario ini terjadi di dunia nyata?

Konklaf 2025: Pertemuan Para Kardinal dari Seluruh Dunia

Sebanyak 133 Kardinal elektor (berusia di bawah 80 tahun dan berhak memilih) akan berpartisipasi dalam Konklaf kali ini. Dua Kardinal lainnya telah mengkonfirmasi ketidakhadiran mereka karena alasan kesehatan.

Para Kardinal berasal dari 71 negara, tersebar di tujuh benua. Eropa masih memiliki perwakilan terbanyak (53 Kardinal elektor), tetapi jumlah Kardinal dari Asia (23), Afrika (18), Amerika Selatan (17), dan Amerika Utara (16) juga signifikan. Oseania dan Amerika Tengah masing-masing memiliki empat Kardinal elektor.

Komposisi ini, menurut Associate Professor Joel Hodge dari Australian Catholic University, mencerminkan perubahan signifikan dalam Gereja Katolik selama 70 tahun terakhir berkat upaya Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI. Perwakilan dari luar Eropa kini jauh lebih banyak.

Kemungkinan Paus dari Negara Non-Katolik: Analisis Ahli

Profesor Hodge menegaskan bahwa terpilihnya Paus dari negara mayoritas non-Katolik selalu ada kemungkinan. Hal ini bergantung pada berbagai faktor, seperti kepribadian, teologi, spiritualitas, dan gaya kepemimpinan kandidat.

Faktor geopolitik juga akan menjadi pertimbangan penting bagi para Kardinal. Paus yang terpilih harus mampu mengelola hubungan kompleks dengan berbagai negara di dunia.

Meskipun negara-negara mayoritas Katolik biasanya menghasilkan lebih banyak kandidat, Paus Fransiskus sendiri telah menunjuk Kardinal dari negara-negara dengan populasi Katolik kecil, seperti Mongolia. Oleh karena itu, meskipun tidak mungkin diprediksi, kemungkinan ini tetap terbuka.

Kardinal Suharyo: Kandidat dari Indonesia yang Rendah Hati

Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo dari Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, menjadi salah satu Kardinal elektor yang menarik perhatian.

Berbeda dengan beberapa kandidat lain yang lebih menonjol, Kardinal Suharyo dikenal rendah hati dan tidak memiliki ambisi untuk menjadi Paus. Ia lebih fokus pada pelayanan kepada umat.

Sikap tegasnya terhadap rencana pemerintah Indonesia yang ingin memberikan izin tambang kepada organisasi keagamaan, serta komitmennya membangun tim awam yang terdiri dari para profesional Katolik, menunjukkan kepribadiannya yang kuat dan progresif.

Sekretaris Keuskupan Agung Jakarta, Romo Adi Prasojo, memastikan bahwa Kardinal Suharyo hanya berfokus pada pelayanan gereja dan tidak memiliki ambisi kekuasaan.

Kardinal Suharyo sendiri menyatakan bahwa cita-cita menjadi Paus adalah hal yang bodoh. Namun, ia siap menerima keputusan Konklaf dengan penuh ketaatan jika terpilih.

Sementara itu, Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar, negara mayoritas Buddha, juga menjadi kandidat yang cukup dikenal dan dianggap memiliki peluang, meskipun peluangnya dianggap kecil.

Profesor Hodge menilai Kardinal Bo sebagai sosok yang mengesankan karena mampu menunjukkan kepemimpinan di tengah situasi konflik sipil dan pemerintahan militer di negaranya.

Konklaf kali ini diperkirakan akan lebih lama daripada biasanya, mengingat belum adanya kandidat dominan yang jelas. Meskipun dua Konklaf terakhir berakhir dalam waktu dua hari, ada juga Konklaf yang berlangsung hampir tiga tahun.

Siapa pun yang terpilih nantinya akan menghadapi berbagai tantangan, termasuk reformasi gereja, terutama terkait keuangan, perlindungan anak, dan penanganan krisis pelecehan seksual.

Kesimpulannya, meskipun pemilihan Paus selalu penuh misteri, Konklaf 2025 menawarkan potensi perubahan yang menarik. Kemungkinan terpilihnya Paus dari negara mayoritas non-Katolik tetap terbuka, dan sosok seperti Kardinal Suharyo, dengan dedikasinya pada pelayanan dan rendah hati, memberikan nuansa unik pada proses pemilihan ini. Kita hanya perlu menunggu dan melihat siapa yang akan memimpin Gereja Katolik di masa depan.

Ikuti Kami di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *