Starlink Indonesia: Investasi Minim, Dampak Besar? Mastel & ASSI Bicara

Penghentian Starlink menerima pelanggan baru di Indonesia telah memicu reaksi dari berbagai pihak. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin operasional Starlink. Langkah ini juga mendorong pertimbangan ulang terhadap pemberian izin serupa kepada penyedia layanan telekomunikasi satelit orbit rendah (LEO) lainnya.

Kekecewaan terhadap Starlink juga diungkapkan oleh beberapa tokoh. Janji-janji perusahaan yang disampaikan pada tahun 2022, yang disambut dengan antusias oleh pemerintah, dinilai belum terealisasi secara signifikan.

Starlink dan Kekecewaan Terhadap Janji yang Belum Terwujud

Sigit Djarot dari Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) mengungkapkan kekecewaannya. Starlink dinilai belum memenuhi janjinya terkait pembangunan di daerah 3T dan investasi pembangunan pabrik Tesla.

Layanan yang dijanjikan untuk masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) serta fasilitas publik seperti puskesmas, belum terwujud. Pemerintah dipertanyakan kemampuannya untuk memaksa Starlink mematuhi aturan telekomunikasi.

Ketidakjelasan komitmen investasi infrastruktur fisik dan layanan di daerah 3T menjadi sorotan. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengawasan pemerintah terhadap perusahaan asing ini.

Kekhawatiran Terhadap Kedaulatan Digital dan Keamanan Nasional

Sigit Djarot juga menyoroti isu kedaulatan digital. Ia menjelaskan bahwa kedaulatan digital adalah kemampuan negara untuk mengontrol data, infrastruktur digital, dan aliran informasi sesuai hukum nasional tanpa dominasi asing.

Starlink mengirimkan semua data ke luar negeri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kemampuan pemerintah dalam menegakkan kedaulatan digital, termasuk pengaturan keamanan data dan lawful intercept.

Ketidakjelasan pengawasan atas data dan operasional Starlink menjadi perhatian serius. Hal ini berbeda dengan operator telekomunikasi domestik yang lebih mudah diaudit dan memiliki penanggung jawab lokal.

Investasi Minim dan Kurangnya Transfer Pengetahuan

Sigit Jatiputro dari Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) mempertanyakan investasi Starlink yang hanya Rp 30 miliar. Investasi ini dinilai sangat minim dibandingkan dengan potensi keuntungan yang didapatkan.

Starlink hanya membangun gateway dengan tenaga kerja asing. Hal ini tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi Indonesia.

Starlink beroperasi sebagai entitas asing yang berjalan sendiri. Mereka dinilai tidak memberikan transfer pengetahuan atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.

Pengendalian penuh data dan trafik pelanggan di luar negeri menimbulkan masalah. Indonesia kesulitan melakukan audit operasional dan meminta pertanggungjawaban Starlink.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan operator telekomunikasi nasional. Operator lokal lebih mudah diaudit dan memiliki penanggung jawab di dalam negeri.

Risiko terhadap kedaulatan digital dan keamanan nasional menjadi perhatian utama. Hal ini penting terutama dalam situasi krisis atau konflik geopolitik.

Telekomunikasi merupakan sektor strategis, seperti pertahanan negara. Kominfo perlu berperan strategis untuk menjaga kedaulatan dan meningkatkan pendapatan negara.

Contohnya, saat konflik Iran dan Israel, Starlink justru membuka layanannya ketika pemerintah Iran membatasi komunikasi. Hal ini menunjukkan pentingnya pengendalian sektor telekomunikasi oleh negara.

Pemerintah didesak untuk menegakkan kedaulatan nasional di bidang data dan digital. Kominfo perlu mewajibkan kerja sama penyelenggara telekomunikasi satelit asing dengan operator satelit nasional.

Situasi ini menyoroti pentingnya evaluasi kebijakan pemerintah terkait izin operasional perusahaan telekomunikasi asing. Ke depannya, perlu ada mekanisme yang lebih ketat untuk memastikan kedaulatan digital dan manfaat ekonomi bagi Indonesia terjaga.

Ikuti Kami di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *