Ketegangan antara Iran dan Israel meningkat drastis. Wakil Menteri Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh, memperingatkan bahwa keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam konflik ini akan berujung malapetaka bagi seluruh kawasan. Ia menekankan konflik tersebut bukan urusan AS, dan jika Presiden Donald Trump ikut campur, warisan sejarahnya akan tercoreng.
Khatibzadeh, dalam wawancara dengan BBC, menyatakan bahwa keterlibatan AS akan memperumit konflik dan memperpanjang penderitaan. Inggris, sebagai sekutu dekat AS, juga akan merasakan dampaknya.
Dampak Serangan Timbal Balik Iran-Israel
Rumah Sakit Soroka di Israel diserang rudal dari Iran. Pihak Iran mengklaim menargetkan lokasi militer di dekat rumah sakit, bukan fasilitas medis itu sendiri. Serangan ini mengakibatkan 71 orang luka-luka, menurut Kementerian Kesehatan Israel.
Sebagai balasan, militer Israel menyerang sejumlah situs nuklir Iran, termasuk reaktor air berat Arak dan fasilitas Natanz. Iran hingga saat ini belum merilis informasi resmi mengenai korban jiwa di negaranya.
Serangan-serangan ini terjadi di tengah situasi kritis. Gedung Putih menyatakan bahwa Trump akan memutuskan keterlibatan AS dalam dua pekan mendatang.
Khatibzadeh menegaskan kembali bahwa diplomasi adalah pilihan utama. Namun, negosiasi tak mungkin dilakukan selama pemboman terus berlanjut. Ia bersikukuh bahwa serangan Iran merupakan aksi pertahanan diri.
Ia menjelaskan bahwa Iran sedang dalam proses negosiasi nuklir ketika Israel melancarkan serangan. Mereka hampir mencapai kesepakatan dalam putaran keenam pembahasan di Muscat.
Tuduhan Senjata Nuklir Iran dan Peran Diplomasi
Israel menuduh Iran berupaya mempersenjatai uranium yang diperkayanya. Iran membantah tuduhan tersebut dan menegaskan program nuklirnya murni untuk tujuan damai.
IAEA melaporkan Iran telah mengumpulkan uranium yang diperkaya hingga kemurnian 60 persen, satu langkah menuju standar senjata (90 persen). Khatibzadeh menyebut tuduhan tersebut sebagai “omong kosong”.
Kepala IAEA, Rafael Grossi, menyatakan fasilitas nuklir tak boleh diserang karena berpotensi membahayakan manusia dan lingkungan.
Khatibzadeh menyatakan optimisme akan jalur diplomatik pasca pertemuan puncak G7. Negara-negara Eropa, katanya, ingin kembali bernegosiasi di tingkat menteri di Jenewa.
Potensi Keterlibatan Inggris Raya dalam Konflik
Sejarah keterlibatan Inggris dalam konflik Timur Tengah, seperti invasi Irak tahun 2003, menjadi sorotan. Sebagai sekutu AS, peran Inggris dalam konflik Iran-Israel menjadi pertanyaan.
Meskipun bukan pemain utama, Inggris memiliki peran diplomatik. Bersama negara-negara G7, mereka menyerukan deeskalasi, meskipun Israel tampaknya tak mengindahkannya.
Hubungan Inggris dan Israel memburuk setelah Inggris menjatuhkan sanksi kepada dua menteri kabinet Israel. Namun, Inggris masih berperan dalam upaya diplomasi, termasuk melalui Menteri Luar Negeri David Lammy yang melakukan kunjungan ke Washington dan Jenewa.
Aset Strategis Inggris Raya
Inggris memiliki beberapa aset strategis yang dapat terlibat dalam konflik. Berikut beberapa di antaranya:
- Diego Garcia: Pangkalan bersama Inggris dan AS di Samudra Hindia. Potensial digunakan untuk pesawat pembom B-2 Spirit, yang dapat menghancurkan fasilitas nuklir Iran. Penggunaan Diego Garcia memerlukan izin dari Inggris.
- Siprus: RAF Akrotiri (markas jet RAF Typhoon) dan stasiun pemantau intelijen di Ayios Nikolaos. Fasilitas ini memungkinkan Inggris mengerahkan pasukan cepat ke Timur Tengah.
- Teluk: Angkatan Laut Inggris memiliki peran dalam menjaga Selat Hormuz, termasuk penanggulangan ranjau. HMS Middleton saat ini berada di Teluk, namun belum dikerahkan untuk operasi tempur.
Jika Inggris mengizinkan AS menggunakan Diego Garcia untuk menyerang Iran, maka Inggris berpotensi menjadi sasaran serangan balasan. RAF Akrotiri, misalnya, dapat menjadi target serangan rudal balistik Iran.
Selain serangan militer, Iran juga dapat melancarkan aksi sabotase melalui kelompok kriminal. MI5, dinas intelijen Inggris, akan mewaspadai ancaman tersebut.
Konflik Iran-Israel telah menciptakan situasi yang sangat kompleks dan berisiko. Peran AS dan Inggris akan menentukan eskalasi konflik di masa mendatang. Upaya diplomasi menjadi kunci untuk mencegah malapetaka yang lebih besar.