Masuk angin, sebuah istilah yang familiar di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Jawa, ternyata menyimpan kompleksitas yang menarik untuk dikaji. Prof. Dr. Atik Triratnawati, Guru Besar Antropologi Kesehatan UGM, dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar pada 10 Juni 2024, membedah fenomena ini sebagai perpaduan antara aspek medis dan budaya.
Secara medis, “masuk angin” bukan kategori penyakit yang diakui. Ia lebih dianggap sebagai gejala dari penyakit lain, seperti flu. Namun, di masyarakat, masuk angin dipahami sebagai suatu gangguan kesehatan yang nyata dan berpengaruh signifikan terhadap aktivitas sehari-hari.
Dalam ranah budaya, terutama Jawa, masuk angin memiliki konotasi magis atau supranatural. Gejalanya yang mirip dengan berbagai penyakit lainnya menyebabkan penderita kesulitan beraktivitas dan mencari pengobatan yang sesuai dengan pemahaman budaya.
Klasifikasi Masuk Angin dalam Budaya Jawa
Penelitian Prof. Atik mengungkap tiga kategori masuk angin dalam budaya Jawa: masuk angin biasa, masuk angin berat, dan masuk angin kasep (angin duduk).
Masuk angin biasa ditandai gejala ringan seperti kembung, panas, dan pegal-pegal. Kondisi ini sering dikaitkan dengan kelelahan setelah bekerja dan penderita umumnya masih mampu beraktivitas normal. “Gejalanya sendiri berupa kembung, panas, dan pegal-pegal,” ungkap Prof. Atik.
Masuk angin berat, berbeda dengan yang biasa, gejalanya lebih terasa dan seringkali muncul akibat menunda makan, minum, dan istirahat. Muntah dan diare menjadi penanda perbedaan utama dengan masuk angin biasa. “Umumnya penderitanya sering sekali menunda makan, minum, dan istirahat karena berharap pekerjaannya akan diselesaikan dulu. Akibatnya muncul gejala-gejala tambahan seperti muntah dan mencret,” jelasnya.
Angin kasep atau angin duduk merupakan kategori terberat. Kondisi ini muncul ketika masuk angin dibiarkan tanpa penanganan. Gejalanya dapat muncul tiba-tiba, menyebabkan nyeri dada hebat dan bahkan dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani dengan cepat. “Gejala yang tidak teratasi pada masyarakat awam dapat menyebabkan kematian,” tegas Prof. Atik.
Beragam Metode Pengobatan Masuk Angin
Pengobatan masuk angin juga beragam, mencerminkan kekayaan budaya dan kepercayaan masyarakat. Pengobatannya bisa bersifat individual atau komunal.
Contoh pengobatan individual yang unik adalah menggosok perut anak dengan kotoran sapi untuk mengatasi masuk angin, seperti yang ditemukan Prof. Atik dalam penelitiannya. Contoh lain adalah seorang petani yang mengonsumsi minuman ringan untuk mengatasi masuk angin.
Kerokan merupakan metode pengobatan komunal yang populer di masyarakat Jawa. Teknik ini melibatkan penggarukan kulit menggunakan koin dan minyak gosok untuk menimbulkan rasa hangat. Pandangan medis terhadap kerokan beragam; ada yang menganggapnya merusak kulit dan pembuluh darah, sementara yang lain melihatnya efektif jika dilakukan dengan benar.
Teknik kerokan sendiri bervariasi, mulai dari arah penggarukan (dari punggung atas hingga pinggang) hingga posisi kemiringan koin. Yang penting, menurut Prof. Atik, kerokan yang efektif tidak menimbulkan rasa sakit yang berlebihan, melainkan membantu melancarkan peredaran darah dan meningkatkan suhu tubuh. “Kerokan harusnya membantu pembuluh darah lancar sekaligus meningkatkan suhu tubuh,” katanya. “Dengan demikian, prinsip pengobatan ini sesuai dengan prinsip pemikiran sehat-sakit dalam budaya Jawa,” pungkasnya.
Kesimpulannya, “masuk angin” bukanlah sekadar gangguan kesehatan sederhana, melainkan fenomena kompleks yang mencerminkan interaksi antara pengetahuan medis dan sistem kepercayaan budaya Jawa. Penelitian Prof. Atik memberikan wawasan berharga tentang kekayaan budaya Indonesia dalam memahami dan mengatasi masalah kesehatan.
Penelitian ini juga menyoroti pentingnya memahami konteks budaya dalam memahami dan menangani masalah kesehatan, terutama di masyarakat yang memiliki sistem kepercayaan dan praktik pengobatan tradisional yang kaya.