Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan yang cukup mengejutkan terkait penyelenggaraan Pemilu. Putusan tersebut memisahkan Pemilu nasional dan daerah, dengan jeda waktu minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan. Keputusan ini menimbulkan beragam reaksi dari berbagai pihak, termasuk partai politik.
Reaksi beragam muncul pasca putusan MK tersebut. Beberapa partai politik menyatakan akan mengkaji lebih lanjut putusan tersebut, sementara yang lain langsung menyatakan penolakan.
PDIP Masih Mengkaji Putusan MK
Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, menyatakan partainya masih melakukan kajian mendalam terhadap putusan MK. Hal ini dilakukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap UUD 1945, yang menetapkan Pemilu lima tahun sekali.
Puan menambahkan, kajian ini melibatkan seluruh pimpinan partai politik. Hasil kajian akan dibahas dalam rapat koordinasi internal PDIP, baik formal maupun informal.
PDIP akan menentukan sikap resmi setelah proses kajian dan rapat koordinasi selesai. Partai berlambang banteng moncong putih ini berkomitmen untuk memberikan tanggapan yang matang dan terukur atas putusan MK.
Pemerintah Bentuk Tim Kajian Khusus
Pemerintah juga merespon putusan MK dengan membentuk tim kajian khusus. Tim ini dibentuk oleh Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) dan melibatkan Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Hukum dan HAM.
Mensesneg Prasetyo Hadi menjelaskan, kajian tidak hanya terbatas pada aspek legal formal putusan, tetapi juga pada implikasi teknis di lapangan.
Setelah kajian selesai, tim akan menyampaikan hasilnya kepada Presiden Prabowo Subianto untuk menentukan langkah selanjutnya. Pemerintah menegaskan tetap menghormati putusan MK, namun akan menganalisisnya secara mendalam.
Penolakan Keras dari Partai Nasdem
Berbeda dengan PDIP, Partai Nasdem secara tegas menolak putusan MK. Partai besutan Surya Paloh ini menganggap putusan tersebut sebagai bentuk pencurian kedaulatan rakyat.
Anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, Lestari Moerdijat, menyatakan putusan MK telah melampaui kewenangannya dan bertentangan dengan UUD 1945.
Nasdem berpendapat putusan tersebut berpotensi menimbulkan krisis konstitusional dan pelanggaran konstitusi. Mereka juga menilai MK telah melanggar prinsip kepastian hukum dan mengambil alih kewenangan legislatif.
Lestari menambahkan, putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu serentak setiap lima tahun sekali. Hal ini dapat berdampak pada periode DPRD yang tidak sesuai dengan konstitusi.
Putusan MK ini jelas memicu perdebatan di kalangan politikus dan pakar hukum. Kejelasan dan konsistensi hukum terkait penyelenggaraan Pemilu menjadi kunci utama bagi stabilitas dan demokrasi di Indonesia. Reaksi beragam dari partai politik menunjukkan kompleksitas isu ini dan perlunya solusi yang bijak untuk mencapai kesepakatan bersama.