Wacana revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mencuat. Hal ini muncul tak lama setelah MK mengeluarkan putusan terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Namun, Wakil Ketua DPR Adies Kadir menegaskan bahwa revisi UU MK sebenarnya telah selesai dilakukan lima tahun lalu. Saat ini, UU tersebut tinggal menunggu proses paripurna.
Bantahan DPR Terhadap Wacana Revisi UU MK
Adies Kadir, Wakil Ketua DPR, menyatakan bahwa tidak ada rencana revisi UU MK. Menurutnya, revisi UU tersebut sudah dilakukan pada periode DPR sebelumnya.
Ia menjelaskan bahwa revisi UU MK telah selesai dan tinggal menunggu pembahasan di rapat paripurna. Proses ini, menurutnya, telah berjalan dan tinggal menunggu jadwal dari pimpinan DPR.
Adies juga menegaskan bahwa pimpinan DPR belum menjadwalkan pembahasan UU MK di Badan Musyawarah (Bamus). Artinya, belum ada pembahasan resmi mengenai hal tersebut di internal DPR.
Klarifikasi DPR Mengenai Putusan MK dan Revisi UU
Menanggapi munculnya wacana revisi UU MK pasca putusan pemisahan pemilu dan pilkada, Adies Kadir kembali menekankan bahwa revisi UU MK sudah rampung. Prosesnya hanya tinggal menunggu paripurna.
Ia menambahkan bahwa dirinya pernah menjabat sebagai ketua panitia dalam revisi UU MK tersebut. Proses tersebut, menurutnya, telah selesai dan hanya tinggal menunggu jadwal di paripurna tingkat dua.
Sikap PKS Terkait Revisi UU MK
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, memberikan penjelasan terpisah mengenai wacana revisi UU MK. Ia menegaskan bahwa revisi ini tidak terkait dengan putusan MK soal pemisahan pemilu.
Nasir Djamil menjelaskan bahwa revisi UU MK bertujuan untuk memperbaiki aturan yang ada, bukan untuk mengurangi kewenangan MK. Kewenangan MK, menurutnya, sudah diatur jelas di UUD 1945.
Ia juga menilai bahwa reaksi penolakan dari beberapa partai politik terhadap putusan MK merupakan hal yang wajar dalam sistem demokrasi. Respon tersebut, kata Nasir, merupakan hal lumrah dalam dinamika politik.
Menurut Nasir, wacana revisi UU MK berdekatan dengan putusan MK tentang pemilu hanya sebuah kebetulan. Proses revisi sudah berjalan sebelum putusan tersebut dikeluarkan.
PKS menegaskan kembali bahwa revisi UU MK bukan untuk mengerdilkan atau melemahkan MK. DPR memiliki tugas untuk mengevaluasi berbagai lembaga negara, termasuk MK.
Putusan MK tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan Perludem terkait pemilu serentak. Putusan ini mengakibatkan pemisahan pemilu nasional dan pilkada mulai tahun 2029.
MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat. Hal ini terkait dengan pelaksanaan pemungutan suara serentak.
MK memutuskan agar pemungutan suara untuk pemilihan presiden dan anggota legislatif dilakukan terpisah dari pemungutan suara untuk pemilihan kepala daerah. Jeda waktu antara dua pemilu tersebut minimal dua tahun dan maksimal dua tahun enam bulan.
Kesimpulannya, meskipun muncul wacana revisi UU MK setelah putusan MK terkait pemilu, DPR menegaskan bahwa revisi tersebut telah selesai dan hanya menunggu proses paripurna. Penjelasan dari wakil ketua DPR dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS memberikan gambaran yang berbeda mengenai latar belakang dan tujuan revisi UU MK. Putusan MK sendiri menandai perubahan signifikan dalam sistem penyelenggaraan pemilu di Indonesia kedepannya.