Pemerintah Australia menyatakan keprihatinan atas laporan yang menyebutkan Rusia berupaya menempatkan pesawat jarak jauhnya di pangkalan udara Indonesia. Laporan tersebut muncul dari situs web militer Amerika Serikat, Janes, yang menyebutkan Rusia telah mengajukan permintaan resmi untuk menggunakan Pangkalan Angkatan Udara Manuhua di Biak Numfor, Papua. Kedekatan lokasi ini dengan Australia memicu kekhawatiran serius.
Kecemasan Australia semakin besar mengingat sejarah Rusia yang pernah menerbangkan pesawat pengebom berkemampuan nuklir dari pangkalan tersebut pada 2017. Insiden tersebut diduga sebagai latihan pengumpulan intelijen. Potensi penempatan pesawat militer Rusia di Papua menimbulkan risiko strategis bagi Australia.
Respons Cepat Pemerintah Australia
Wakil Perdana Menteri Australia, Richard Marles, langsung menghubungi Menteri Pertahanan Indonesia, Sjafrie Sjamsoeddin, untuk mengklarifikasi kabar tersebut. Sjafrie Sjamsoeddin tegas membantah laporan tersebut, menyatakan belum menerima permintaan resmi dari Rusia.
Meskipun demikian, kemungkinan pengajuan permintaan pada tingkat yang lebih rendah tetap terbuka. Pemerintah Australia pun masih terus berupaya untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari pemerintah Indonesia. Menteri Luar Negeri Australia, Penny Wong, menekankan pentingnya klarifikasi terkait akurasi laporan dan status permintaan Rusia.
Analisis Strategis dan Potensi Dampak
Para ahli menilai, akses Rusia ke pangkalan udara di Papua dapat memberikan keuntungan strategis bagi Moskow. Rusia berpotensi menggunakan pangkalan tersebut untuk memantau fasilitas pertahanan AS di Pasifik Barat, termasuk di Guam.
Hal ini tentu saja akan memperumit situasi keamanan regional. Kemungkinan tersebut memicu respons keras dari Australia dan negara-negara sekutunya. Australia, Jepang, dan Amerika Serikat diperkirakan akan mendesak Indonesia untuk menolak permintaan tersebut.
Posisi Indonesia dan Reaksi Politik Dalam Negeri Australia
Seorang sumber di Jakarta mengungkapkan kecilnya kemungkinan Indonesia mengabulkan permintaan Rusia. Hal ini dikarenakan potensi besarnya dampak negatif terhadap kebijakan luar negeri Indonesia yang telah mapan.
Malcolm Davis dari Australian Strategic Policy Institute menyatakan bahwa kesepakatan antara Rusia dan Indonesia masih belum pasti dan berpotensi gagal. Namun, ia juga menekankan bahwa jika Indonesia menyetujui permintaan tersebut, akan ada peningkatan signifikan dalam penempatan aset militer AS dan Australia di dekat pasukan Rusia.
Di Australia sendiri, Pemimpin Oposisi, Peter Dutton, mengkritik pemerintah karena tidak mendapatkan peringatan sebelumnya terkait laporan tersebut. Ia menyebutnya sebagai kegagalan diplomatik yang fatal. Dutton menekankan pentingnya hubungan baik dengan Indonesia, namun secara tegas menyatakan penolakan terhadap kehadiran militer Rusia di wilayah tersebut. Perdana Menteri Anthony Albanese menyatakan pemerintah sedang melakukan klarifikasi.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan Indonesia belum memberikan tanggapan resmi terkait isu tersebut.
Meningkatnya Ketegangan Geopolitik di Kawasan
Ketegangan geopolitik di kawasan Indo-Pasifik terus meningkat seiring dengan persaingan antara kekuatan besar. Rusia telah meningkatkan hubungan militernya dengan Indonesia, termasuk latihan angkatan laut di Laut Jawa pada bulan November.
Pemerintah Australia meyakini bahwa Rusia dan Tiongkok semakin memperhatikan peningkatan kekuatan militer AS di Darwin dan Wilayah Utara Australia. Konteks geopolitik ini menjadi latar belakang kekhawatiran Australia atas potensi kehadiran militer Rusia di Papua. Kejelasan dan transparansi informasi dari Indonesia sangat dibutuhkan untuk meredakan ketegangan.
Perkembangan ini menggarisbawahi kompleksitas hubungan internasional dan perlu kerjasama yang erat antara negara-negara di kawasan untuk menjaga stabilitas dan keamanan regional. Australia, sebagai negara tetangga, memiliki kepentingan strategis untuk memastikan transparansi dan menjaga stabilitas di wilayah tersebut. Ke depan, diperlukan komunikasi yang lebih terbuka dan kolaborasi yang lebih kuat antar negara untuk mencegah eskalasi konflik.