Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkapkan kekhawatirannya mengenai beberapa pasal dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilai tidak sinkron dengan Undang-Undang KPK. Hal ini disampaikan Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, setelah KPK menggelar Focus Group Discussion (FGD) bersama para ahli hukum.
Dalam FGD tersebut, KPK dan para ahli membahas implikasi RKUHAP, khususnya pasal-pasal yang berpotensi mengganggu tugas dan wewenang KPK sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 juncto UU Nomor 19 Tahun 2019. Meskipun Budi Prasetyo enggan merinci pasal-pasal yang dimaksud, ia menekankan adanya ketidaksesuaian yang perlu diperhatikan.
Meskipun detail pasal yang bermasalah belum diungkapkan, pernyataan KPK ini menunjukkan adanya potensi konflik antara RKUHAP yang baru dengan aturan yang sudah ada terkait pemberantasan korupsi. Ini tentu menjadi perhatian serius mengingat pentingnya koordinasi dan sinkronisasi regulasi dalam upaya penegakan hukum di Indonesia.
Peran Ahli Hukum dan Dukungan Aturan Khusus
Hasil FGD dengan para ahli hukum menunjukkan adanya dukungan terhadap aturan khusus penanganan tindak pidana korupsi. Para ahli sepakat bahwa korupsi perlu dipandang sebagai extra ordinary crime dan membutuhkan lex specialist dalam KUHP. Ini menunjukkan adanya konsensus bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan dan regulasi yang berbeda dari kejahatan umum.
Masukan dari para ahli hukum ini akan menjadi bahan pertimbangan bagi KPK dalam melakukan pembahasan internal. KPK akan mengkaji lebih lanjut bagaimana memastikan agar kewenangannya dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tetap terjaga, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
RUU KUHAP dan Target Penyelesaian
RUU KUHAP merupakan prioritas legislasi DPR dan telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. DPR menargetkan pembahasan RUU KUHAP selesai sebelum tahun 2026. Ini berarti, penyelesaian RKUHAP yang selaras dengan UU KPK menjadi sangat penting dalam kurun waktu tersebut.
Proses penyelarasan antara RKUHAP dan UU KPK membutuhkan kerja sama yang intensif antara DPR, pemerintah, dan KPK. Kejelasan dan transparansi dalam proses legislasi sangat krusial agar tidak terjadi tumpang tindih dan hambatan dalam penegakan hukum khususnya terkait pemberantasan korupsi.
Potensi Hambatan dan Solusi
Jika tidak diselesaikan dengan baik, ketidaksesuaian antara RKUHAP dan UU KPK berpotensi menghambat kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Hal ini dapat melemahkan upaya pencegahan dan penindakan korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan dialog yang intensif dan komprehensif antara pembuat undang-undang dan lembaga penegak hukum untuk mencari solusi yang tepat.
Salah satu solusi yang mungkin adalah memasukkan klausul khusus dalam RKUHAP yang secara eksplisit mengakui dan memperkuat kewenangan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi. Klausul ini perlu dirumuskan dengan cermat agar tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda dan memastikan efektifitas pemberantasan korupsi.
“KPK gelar FGD dengan para ahli hukum untuk membahas terkait implikasi RKUHAP, di mana beberapa pasalnya tidak sinkron dengan tugas dan kewenangan KPK yang telah diatur dalam UU 30 Tahun 2002 juncto UU 19 Tahun 2019,” ujar Budi Prasetyo.
“Di mana korupsi dipandang sebagai extra ordinary crime juga menjadi lex specialist dalam KUHP,” jelas Budi Prasetyo menambahkan.
Terlebih, kewenangan KPK dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan juga telah disahkan oleh MK,” tuturnya.
Kesimpulannya, permasalahan sinkronisasi antara RKUHAP dan UU KPK menunjukkan perlunya kehati-hatian dan koordinasi yang lebih baik dalam proses legislasi. Pembahasan yang komprehensif dan melibatkan berbagai pihak terkait sangat penting untuk memastikan efektivitas pemberantasan korupsi di Indonesia.