Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan besar-besaran terhadap fasilitas nuklir Iran pada Minggu, 22 Juni 2025. Operasi militer yang diberi kode sandi “Midnight Hammer” ini, menurut Jenderal Dan Caine, mengakibatkan kerusakan dan kehancuran yang sangat parah pada target yang dituju. Serangan ini menandai eskalasi signifikan dalam ketegangan antara AS dan Iran, yang telah memanas menyusul konflik antara Iran dan Israel. Presiden Donald Trump, yang sebelumnya berupaya menyelesaikan masalah nuklir Iran melalui diplomasi, akhirnya memilih jalur militer.
Ketegangan yang meningkat antara AS dan Iran bermula dari serangkaian serangan yang dilakukan Israel terhadap Iran. Serangan-serangan ini, yang dilakukan selama seminggu terakhir, bahkan menyasar tokoh-tokoh militer Iran. Sebagai balasan, Iran meluncurkan rudal ke wilayah Israel pada 13 Juni 2025, memperburuk situasi dan menyebabkan konflik yang berlanjut hingga saat serangan AS terjadi.
Operasi Militer Skala Besar “Midnight Hammer”
Operasi Midnight Hammer melibatkan lebih dari 125 pesawat militer AS. Armada tersebut terdiri dari berbagai jenis pesawat, termasuk pembom siluman B-2 Spirit, jet tempur, pesawat pengisi bahan bakar di udara, pesawat pengintaian, dan kapal selam peluncur rudal berpemandu. Jenderal Caine menyebut operasi ini menunjukkan kemampuan militer AS yang tak tertandingi, menyatakan tidak ada negara lain yang mampu melakukan hal serupa.
Militer AS mengerahkan tujuh unit pembom strategis B-2 Spirit. Pesawat ini mampu terbang sejauh lebih dari 9.600 kilometer tanpa pengisian bahan bakar. Kemampuannya menembus pertahanan musuh dan menghancurkan target bernilai tinggi menjadikannya aset penting dalam operasi ini. Serangan ini merupakan operasi B-2 terbesar dalam sejarah AS, dan merupakan misi B-2 terpanjang kedua yang pernah dilakukan. Strategi pengelabuan yang diterapkan berhasil mengelabui pertahanan Iran.
Senjata Canggih yang Digunakan
Dalam serangan ini, pembom B-2 menjatuhkan 14 bom GBU-57, atau Massive Ordinance Penetrator. Bom seberat 13,6 ton ini dirancang untuk menembus hingga 60 meter di bawah tanah sebelum meledak. Hal ini membuatnya sangat efektif untuk menghancurkan fasilitas nuklir bawah tanah. GBU-57 mulai diuji pada tahun 2004 dan secara resmi dikembangkan oleh Boeing pada tahun 2009.
Selain bom GBU-57, AS juga meluncurkan lebih dari 24 rudal jelajah Tomahawk dari kapal selam di Timur Tengah. Sasarannya adalah infrastruktur permukaan di Isfahan, salah satu dari tiga lokasi nuklir utama Iran yang menjadi target. Rudal Tomahawk, yang dikenal karena kemampuan terbang rendah dan sistem pemandu canggihnya, pertama kali digunakan dalam Operasi Badai Gurun pada tahun 1991.
Tujuan Serangan dan Reaksi Internasional
Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, menyatakan tujuan operasi ini adalah menetralisir ancaman dari program nuklir Iran terhadap kepentingan nasional AS dan melindungi pasukan serta sekutu. Ia menegaskan bahwa operasi ini bukanlah upaya untuk menggulingkan rezim Iran.
Serangan ini menimbulkan perdebatan di AS. Beberapa tokoh penting dalam gerakan “Make America Great Again” menentang keterlibatan AS dalam konflik di Timur Tengah. Janji Presiden Trump untuk mengakhiri “perang abadi” di kawasan tersebut selama kampanye pemilihan presiden 2016 dan 2024 kini menjadi sorotan. Reaksi internasional terhadap serangan tersebut beragam, dengan berbagai negara menyampaikan pandangan dan kekhawatiran mereka.
Langkah selanjutnya masih belum pasti. Presiden Trump menyerukan agar Iran mengakhiri konflik dan membuka jalan untuk perdamaian. Namun, tekanan dari Iran untuk melakukan eskalasi masih memungkinkan. Teheran bisa saja menargetkan personel militer AS di Timur Tengah atau menutup Selat Hormuz, jalur strategis yang vital bagi perdagangan minyak global. Situasi di kawasan tersebut tetap tegang dan perkembangan selanjutnya perlu dipantau secara cermat.