Anggota Komisi VIII DPR RI, Aprozi Alam dari Fraksi Partai Golkar, mengungkapkan pandangannya mengenai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023. UU ini menghapus batas waktu masa berlaku sertifikat halal. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara efisiensi birokrasi dan integritas jaminan kehalalan produk.
Tujuan utama UU ini adalah menciptakan ekosistem halal yang lebih efisien dan mendorong pertumbuhan industri halal Indonesia. Hal ini dilakukan tanpa mengorbankan kualitas dan keandalan sertifikasi halal.
UU Sertifikat Halal Seumur Hidup: Langkah Maju atau Kekhawatiran Baru?
Aprozi Alam menilai UU ini sebagai langkah maju dalam menyederhanakan birokrasi dan meringankan beban pelaku usaha, khususnya UMKM. Pencabutan batas waktu sertifikat halal menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjadi pusat industri halal dunia.
Namun, beberapa negara mitra dagang mengungkapkan kekhawatiran. Mereka mempertanyakan validasi kehalalan produk bersertifikat seumur hidup tanpa peninjauan berkala. Kekhawatiran ini perlu direspon secara serius.
Tanggapan atas Kekhawatiran Negara Mitra Dagang
Aprozi Alam mengakui perlunya mendengarkan perspektif negara-negara mitra dagang. Kekhawatiran mereka terkait potensi penurunan akurasi kehalalan produk dalam jangka panjang merupakan hal yang perlu ditelaah lebih lanjut.
Dalam Rapat Kerja BPJPH dengan Komisi VIII DPR RI, terungkap bahwa dunia luar mempertanyakan pencabutan masa berlaku sertifikat halal dari empat tahun menjadi seumur hidup. Mereka khawatir hal ini dapat mempengaruhi keakuratan kehalalan produk.
Legislator Golkar menjelaskan bahwa esensi sertifikasi halal adalah jaminan berkelanjutan atas proses dan komposisi produk. Pelaku usaha diwajibkan melaporkan setiap perubahan komposisi bahan atau proses produksi kepada BPJPH.
Mekanisme pelaporan ini diharapkan menjaga akurasi kehalalan. Tantangannya adalah memastikan efektivitas mekanisme pelaporan dan pengawasan di lapangan.
Pentingnya Peran BPJPH dan Kerja Sama Internasional
Aprozi Alam mendorong BPJPH dan kementerian/lembaga terkait untuk melakukan evaluasi komprehensif. Evaluasi ini berfokus pada efektivitas mekanisme pelaporan perubahan produk dan sistem pengawasan pasca-sertifikasi.
Peningkatan dialog dan kerja sama dengan lembaga halal internasional juga sangat penting. Hal ini bertujuan menyelaraskan persepsi dan memperkuat Mutual Recognition Arrangement (MRA), sehingga sertifikat halal Indonesia tetap diakui secara global.
BPJPH perlu memperkuat sosialisasi kepada pelaku usaha. Sosialisasi berfokus pada tanggung jawab menjaga kehalalan produk dan kewajiban pelaporan perubahan. Komisi VIII DPR RI akan terus mengawal implementasi UU ini.
Tujuannya agar industri halal nasional dapat berkembang pesat. Hal ini dilakukan tanpa mengorbankan integritas dan jaminan kehalalan produk yang diakui dunia. Keseimbangan antara efisiensi regulasi dan akuntabilitas jaminan halal perlu terus dicari.
Kesimpulannya, implementasi UU Nomor 6 Tahun 2023 merupakan langkah berani yang memerlukan pengawasan dan adaptasi yang cermat. Kolaborasi antara pemerintah, BPJPH, pelaku usaha, dan lembaga internasional sangat krusial untuk memastikan keberhasilannya dan menjaga kepercayaan global terhadap produk halal Indonesia. Transparansi dan komunikasi yang efektif akan menjadi kunci keberhasilan upaya ini.